Kamis, 13 Mei 2010

Program Hitam-Putih Supersemar

Dua Jenderal 'Menodong' Presiden Soekarno
Agar Tandatangani Supersemar?


Program Hitam-Putih TransTV, pada 10 dan 11 Maret 2004 tengah malam, akan menayangkan laporan khusus tentang peristiwa nasional bersejarah, yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Yaitu, soal keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang telah memberi jalan bagi Letjen Soeharto untuk secara bertahap mengikis dan menyisihkan kekuasaan Presiden Soekarno, dan akhirnya menaikkan Soeharto ke kursi Presiden. Ini menjadi awal era Orde Baru, sebelum akhirnya digusur oleh gerakan reformasi Mei
1998. Kontroversi Supersemar antara lain tentang apakah Bung Karno dipaksa untuk menandatangani dokumen, yang praktis berarti alih kekuasaan tersebut.

Soeharto dengan piawai telah membubarkan PKI dan memecat, menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh pendukung Bung Karno, dengan Supersemar itu. Dalam laporan khusus ini, TransTV mewawancarai Letda Soekardjo Wilardjito, anggota Security DKP (Dinas Kawal Pribadi) Presiden Soekarno, yang pada pukul 01.00 dinihari, 11 Maret 1966, melihat pertemuan empat jenderal dengan Presiden di Istana Bogor. Empat jenderal itu adalah: Basuki Rachmat, Maraden Panggabean, M. Yusuf dan Amirmachmud. Mereka meminta Bung Karno menandatangani dokumen dalam map merah.

Soekarno sempat menyatakan keheranan, karena surat itu berkop surat militer, bukan kop surat kepresidenan. Tetapi, Basuki Rachmat mengatakan, “Untuk mengubah, sudah tak ada waktu”.

Lalu, “Panggabean cabut pistol. Belum sempat ditodongkan, Pak Basuki Rachmat juga ikut cabut pistol. Saya langsung cabut pistol juga. Saya todongkan pada Jenderal. Tapi rupanya Presiden tidak menghendaki pertumpahan darah dan melarang dengan tangan kirinya,” kata Wilardjito.

Panggabean adalah mantan Ketua DPA Jenderal (Purn) Maraden Panggabean, yang saat itu menjabat Ketua Tim Umum bentukan Soeharto. Nama Panggabean selama ini memang tak tercantum dalam sejarah Supersemar. Selama ini, sejarah 'resmi' Supersemar hanya menyebutkan tiga Jenderal –- Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amirmachmud -- yang menghadap Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.

Penodongan Soekarno Versi Wilardjito

Semuanya berawal, saat Wilardjito mendapat giliran dinas malam di Istana Bogor pada 10 Maret 1966. Hari itu, Bung Karno tidur sekitar jam 24:00. Satu jam kemudian, datanglah empat jenderal tersebut. Wilardjito mengaku, dialah yang mengetuk pintu kamar Presiden Soekarno untuk memberitahu kedatangan mereka. Presiden kemudian menerima empat enderal tersebut di ruang kerjanya.

“Presiden masih memakai piyama. Saya 3 meter di belakang Presiden. Cuma yang saya lihat itu kok kertasnya bukan kertas kepresidenan gitu lho. Itu kok saya liat kopnya di kiri atas. Kok seperti kop MABAD (Markas Besar TNI-AD) gitu,” kata Wilardjito. Namun kesaksian Soekardjo Wilardjito dibantah Pusjarah TNI. Menurut Wakil Kepala Pusat Sejarah TNI Kolonel R. Ridhani, Panggabean tak pernah datang ke Istana Bogor.

“Apalagi soal penodongan. Itu yang antara lain dibantah Pak Jusuf. Nodong pake apa, katanya. Pistol saja tidak bawa. Jangankan pistol, senjata kecil apapun juga kita tidak bawa (menirukan Jenderal (Purn.) M. Jusuf, red.).

Semua jenderal-jenderal itu adalah kesayangan Bung Karno. Tak mungkin berlaku kurang ajar terhadap Bung Karno,” kata Ridhani. Tapi sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam punya pedapat lain soal cerita Wilardjito.

“Mungkin saja, kalau tanggalnya itu bukan tanggal 11 Maret. Tanggal 10 Maret, mungkin saja ada beberapa orang yang datang ke Istana Bogor. Karena kalau tanggal 11, ada beberapa saksi lain yang mengatakan hanya tiga orang jenderal. Tapi kalau sebelumnya sudah ada upaya yang sama, itu menurut saya sangat masuk akal,” kata Asvi.

Saksikan di TransTV, 10 dan 11 Maret 2004

Kesaksian Soekardjo Wilardjito dan saksi lain, bantahan Kolonel R. Ridhani, pendapat Asvi Warman Adam, serta penelusuran naskah asli Supersemar, dapat Anda saksiksan lengkap dalam program Hitam Putih – “Supersemar: Sukarela atau Kudeta?” yang ditayangkan TransTV pada Selasa, 10 Maret pukul 23.30-24.00 WIB, dan Rabu, 11 Maret 2004 jam 24:00 WIB (sesudah acara dialog Kupas Tuntas).

Hitam Putih adalah program dokumenter Trans TV, yang mengulas berbagai peristiwa bersejarah, yang dianggap punya dampak penting dalam sejarah nasional. Sebelumnya, Hitam Putih pernah mengangkat tema Peristiwa G30S 1965, yang memakan banyak korban. Kali ini, tema Supersemar dipilih karena banyak hal kontroversial tentang Supersemar tersebut, dan dampak keluarnya Supersemar, yang membalikkan kondisi politik Indonesia, dan menjadi awal rezim Orde Baru.

Hitam Putih – 'Supersemar: Sukarela atau Kudeta?' akan dipandu langsung oleh Riza Primadi, yang sehari-hari menjabat Direktur Pemberitaan TransTV.

Executive Producer: Iwan Sudirwan, Sulaeman Sakib.
Producer: Satrio Arismunandar.
Producer Assistant/Cameraman: Budi Afriyan.
Reporter: Riza Primadi.
Researcher: Ami Melanrosa. (ponco/rio)

Label: ,

Rabu, 12 Mei 2010

Samsung Smartphone GT-I9000

Samsung Electronics today introduced the Galaxy S (Model: GT-I9000) smart phone at the International CTIA Wireless 2010. The Galaxy S will be available in Europe, North America, Latin America, Australia, and Asia soon. Powered by a 1 GHz application processor, the Android-powered Galaxy S also features a 4-inch Super AMOLED screen.

Other Key Features
  • Daily Briefing: Offers instant access to weather, news, stocks, and the scheduler.
  • All Share: Enables inter-device connectivity via DLNA (Digital Living Network Alliance) technology.
  • Home Cradle: Enables use as a digital photo frame, table clock, calendar, and music station.
  • Write and go: Jot down an idea first and later decide on a format such as SMS/ MMS, email, calendar or memo.
  • Swype: Provides fast and easy way to input text on screen while on-the-move.
  • ThinkFree: Apps to view and edit Microsoft Office 2007 documents.
  • Smart Alarm: Wakes up with a natural alarm sound and automatically turned-on display light.

Label: ,

Rabu, 13 Januari 2010

Huawei, Ponsel QWERTY HSDPA-GPS

Tampilannya memikat. Warnanya yang putih mutiara terkesan elegan. Saat dipegang casing-nya yang berbingkai logam itu terasa mantap.

Fitur ponsel QWERTY ini juga menawan. Lihat saja. Besutan Huawei yang dijuluki U9130 Compass ini sudah mengemaskan fitur HSDPA dan A-GPS. “Performance koneksinya sangat cepat, 64x lebih cepat dibandingkan yang lain,” kata Adi Hardiana (Product Manager, Huawei Indonesia) berpromosi.

Oleh Wiwiek Juwono

“HSDPA 3,6MBps, dan untuk modem sudah kami coba bisa mendapatkan kecepatan 3,2Mbps. Begitu ditancap ke komputer akan langsung dikenal sebagai modem tanpa bantuan software apa pun,” jelas Henry Bachri (Promotion Manager, PT Sarindo Nusa Pratama) tentang ponsel berlayar 2,4” yang juga bisa berfungsi sebagai model PnP itu.

“Ini satu-satunya yang pakai push mail Seven yang sangat stabil. Hanya Huawei yang pakai di seluruh dunia. Juga bisa putar YouTube. Tidak semua ponsel bisa (begitu),” kata Adi bangga. “Di seluruh dunia hanya ada dua push mail yang sangat stabil. BlackBerry dan Seven,” jelas Hero Tjokroardi (Managing Director, PT Sarindo Putra Persada). “ Punya server sendiri seperti BlackBerry, tapi tidak melewati operator,” tambah Henry.

Fitur unggulan lain pada ponsel adalah real GPS. “U9130 sudah mengemaskan chip khusus untuk menunjukkan posisi kita. Karena itulah (ia) disebut Compass,” kata Adi. Fitur yang bisa dinonaktifkan ini, jelas Henry, menggunakan peta dari Google Maps. Dan bukan sekadar membaca peta, tetapi menunjukkan posisi kita secara real dengan kisaran sekitar 3 meter.

Yang juga tak kalah menarik adalah terkemasnya kamera dengan resolusi 2 megapixel. “Ini real 2 megapixel, bukan interpolasi,” tandas Henry.

Huawei sudah melengkapi ponsel yang bisa dipakai ber-Internet dengan kecepatan tinggi ini dengan kartu Telkomsel Simpati Max. Untuk ponsel ini, Huawei memang menjalin kerjasama khusus dengan Telkomsel. Namun jangan kuatir, ponsel yang ditujukan pada kalangan pebisnis muda ini tidak akan dikunci ke operator itu saja alias berstatus unlock.

Lalu berapa harga Huawei U9130 Compass yang akan tersedia mulai 18 Desember 2009 itu? Ternyata terjangkau, yakni Rp 1,5 juta. Dan bisa dicicil 12 bulan dengan bunga 0% via kartu kredit Mandiri.

WIEK

Sumber: KOMPAS.com, Rabu, 16 Desember 2009

Label: ,

Sabtu, 12 Desember 2009

James Cameron Kembali dengan Film 3D

Rilis Pekan Depan, Telan Biaya Rp 4,6 Triliun

Dua belas tahun setelah membesut film superlaris Titanic, sutradara James Cameron kembali dengan karya baru. Kali pertama dia menggarap film berjenis 3D yang berjudul Avatar. Film tersebut akan diluncurkan untuk publik pekan depan. Premiere terbatas sudah dilakukan di beberapa tempat, termasuk di Leicester Square, London, pada Kamis malam (hari ini WIB).

Ada banyak hal yang membuat film tersebut pantas dinanti. Pertama adalah biaya pembuatannya yang disebut-sebut sebagai yang terbanyak dalam sejarah perfilman. Empat tahun dibuat, Avatar menghabiskan biaya GBP 300 juta (sekitar Rp 4,6 triliun), separo lebih banyak daripada Titanic yang menelan biaya GBP 150 juta (sekitar 2,3 triliun).

Penggarapan efeknya juga sangat serius. Dengan hanya memasang 37 pemain, ribuan karakter lain dalam film tersebut dibuat secara digital. Penggarapan efeknya termasuk yang canggih saat ini. ''Teknologi komputer digital dalam film ini sangat penting. Kami menetapkan standar tinggi untuk efeknya,'' kata Cameron seperti dikutip dari Daily Mail. Selain itu, pengambilan gambar minimal menggunakan delapan kamera dari angle yang berbeda. Itu pun diambil dua kali oleh kamera 3D.

Avatar ber-setting abad ke-22. Bercerita bahwa bumi sudah kehabisan daya dukungnya dan tak lebih menjadi sebuah gurun tanpa makhluk hidup, tanaman, atau pun mineral. Lalu, ada sebuah planet baru bernama Pandora yang mempunyai semua sumber daya alam yang dibutuhkan. Karena manusia tak bisa bernapas di Pandora, makhluk yang bisa hidup di sana adalah campuran manusia-alien yang disebut Avatar. Di Pandora sudah ada makhluk asli yang mendiami tempat tersebut bernama Na'vi.

Saking seriusnya menggarap detail, Cameron mengajak Paul Frommer, seorang profesor bahasa dari University of Southern California, untuk membuat bahasa khusus Na'vi. Frommer membutuhkan waktu empat tahun guna menciptakan sistem bahasa tersendiri. ''Ada sejumlah kesulitan. Saya sebenarnya ingin membebaskan imajinasi, tapi tetap saja bahasa yang saya buat harus bisa diucapkan manusia,'' tutur Frommer.

Bahasa Na'vi mempunyai 1.000 kosa kata dan struktur yang lengkap pula. Untuk melatih aktor berbahasa Na'vi, pelatih bahasa terkemuka Carla Meyer pun disewa. Kamus bahasa Na'vi juga sudah tersedia di internet sekarang.

Namun, film tersebut tak lepas dari kritik. Ada yang mengatakan, karena menggunakan kamera 3D, susah menangkap emosi dari sorot mata karakter digital serta termasuk film yang ''menggelikan dengan sosok-sosok absurd''. Leo Barraclough, editor majalah Variety, mengatakan bahwa kritik tersebut pasti tak berpengaruh banyak.

''Ini adalah film yang paling dinanti. Orang-orang pasti akan berbondong melihatnya,'' tuturnya. ''Apalagi, James dikenal kualitasnya untuk soal detail, cerdas, dan tak setengah-setengah. Dengan pemasaran yang menggandeng banyak pihak, tampaknya film ini bakal sukses,'' tambah Barraclough.

Buktinya, hingga sekarang lebih dari sejuta orang telah menyaksikan trailer-nya secara online. Belum lagi, serbuan merchandise yang dibuat oleh raksasa action figure Mattel. James Cameron sendiri merasa optimistis atas keberhasilan karyanya. ''Saya yakin, setidaknya orang akan empat kali menonton,'' tuturnya.

Yang pertama, orang akan menonton karena tertarik. Selanjutnya, akan kembali lagi untuk memastikan hal-hal fantastis yang baru saja dilihat. Kemudian, menonton kali ketiga karena ingin menikmati dan yang terakhir untuk menuntaskan kepuasannya menonton film tersebut.

Hanya, saat diminta membandingkan Avatar dengan Titanic, Cameron memilih realistis. ''Saya yakin akan sukses. Namun, bila melebihi Titanic, saya tak berani memastikan. Hanya, saya berharap betul, setidaknya level kesuksesannya sama,'' ucapnya. (ayi)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 11 Desember 2009

Label: ,

Demokrasi dan Partai Kartel

Judul Buku: Mengungkap Politik Kartel
Penulis: Kuskridho Ambardi
Penerbit: KPG dan Lembaga Survei Indonesia
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 403 dan xix halaman

SETELAH tiga kali pemilu (1999, 2004 dan 2009) banyak dugaan Indonesia akan segera mengakhiri masa transisi menuju konsolidasi demokrasi. Boleh jadi -- dalam derajat tertentu -- Indonesia telah memenuhi beberapa syarat konsolidasi demokrasi seperti kriteria Juan Linz dan Alfred Stepan (1996). Salah satunya, tersedianya masyarakat politik di mana partai politik dan organisasi pendukung jadi fokus utamanya. Masalahnya, sistem kepartaian yang bagaimana agar demokrasi jadi lebih bermakna?

Buku hasil disertasi ilmu politik dari The Ohio State University ini dengan gamblang membeberkan dinamika kepartaian di Indonesia era reformasi. Para pembaca jadi mudah memahami interaksi antarpartai khususnya pola persaingan dan kerja sama antarpartai serta dampaknya bagi demokrasi di tanah air. Melalui buku ini tergambar watak persaingan sistem kepartaian nasional, akan menentukan kualitas dan prospek konsolidasi demokrasi.

Bila studi konvensional menempatkan pemilu sebagai satu-satunya arena persaingan, studi ini melangkah maju menggunakan tiga arena politik sekaligus: pemilu, pemerintahan, dan parlemen. Dengan tiga arena politik pengamatan terhadap pola-pola interaksi antarpartai jadi lebih luas. Walhasil, metode ini mengungkap sistem kepartaian di era reformasi bersifat kurang kompetitif melainkan cenderung menyerupai kartel politik. Gejala kartelisasi politik ditunjukkan melalui pemaparan sifat kompetisi antarpartai, yang berlangsung secara tidak konsisten dari satu arena politik ke arena politik yang lain. Bila persaingan (ideologi) berlangsung sengit di arena pemilu (1999 dan 2004), seketika kompetisi itu lenyap dan luruh menjadi kerja sama politik di arena parlemen dan pemerintahan.

Pendekatan sosiologis dan tabula rasa digabungkan untuk mengungkap jenis persaingan antarpartai (hlm. 21-23). Kombinasi pendekatan lazim diadopsi karena tiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sekaligus menghindari perangkap determinisme. Misalnya, studi Afan Gaffar (1992) tentang perilaku pemilih di Jawa menerapkan strategi serupa. Selanjutnya, penjelasan pola koalisi partai di pemerintahan dan parlemen mengandalkan teori koalisi berbasis ideologi (ideologically-connected coalition) dan teori koalisi kemenangan-minimal (minimal-winning coalition).

Ditengarai gejala kartelisasi parpol telah muncul sejak usai pemilu 1999. Persaingan (terutama isu agama) yang begitu sengit selama masa kampanye mendadak terhenti ketika pemilu berakhir. Pola-pola koalisi yang dibangun di parlemen dan pemerintahan pun kurang sesuai dengan teori-teori koalisi pada umumnya.

Bukti pertama, pembentukan dua kabinet (periode 1999-2004) bertentangan dengan teori koalisi berbasis ideologi maupun koalisi kemenangan-minimal. Pasalnya, Kabinet Persatuan Nasional semasa KH Abdurahman Wahid dan Kabinet Gotong Royong di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri bukan berdasarkan kesamaan ideologi. Dengan begitu, ideologi partai bukan jadi penentu perilaku partai. Sebab, semua partai bergabung dalam kabinet maka teori kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan tindak-tanduk partai dalam berkoalisi. Episode politik berikutnya, oposisi absen di arena parlemen. Kartelisasi parpol, menurut buku ini, melahirkan ''koalisi turah'' (overzised coalition) yang konsep dan implikasinya berbeda dengan koalisi besar (grand coalition).

Bukti kedua, dengan meneliti empat studi kasus perundang-undangan (UU Sisdiknas, UU BUMN, UU Perburuhan dan UU Otonomi Daerah) terlihat interaksi antarpartai tidak kompetitif dalam aneka proses perumusan kebijakan. Sebaliknya, partai-partai cenderung bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok, dan secara kolektif pula meninggalkan komitmen program mereka (hlm. 234-235).

Pola interaksi antarpartai pada Pemilu 2004 setali tiga uang. Isu keagamaan tetap jadi isu dominan pada masa kampanye. Tapi persaingan antarpartai tetap berakhir dengan cara serupa, bahwa begitu partai-partai meninggalkan pemilu mereka membuang ideologi mereka (hlm. 281). Indikasinya, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dibawah SBY-JK bukan jenis koalisi berbasis ideologi, karena formasi kabinet merupakan campuran antara partai sekuler dan partai Islam. Teori koalisi kemenangan-minimal juga gagal menjelaskan koalisi di parlemen. Pasca kekalahan Megawati-Hasyim pada pilpres putaran kedua, sebagian besar partai eks-Koalisi Kebangsaan (kecuali PDIP) bergabung dengan pemerintah. Meski PDIP berada di luar pemerintahan, buku ini mencatat, partai berlambang banteng gemuk moncong putih gagal menjadi oposisi. Pasalnya, PDIP bergabung dengan partai-partai lain untuk membentuk kembali kartel demi mendapatkan jatah posisi pimpinan di tingkat komisi di DPR.

Sebab musabab gejala partai kartel diduga kuat karena adanya persamaan kepentingan partai-partai untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Dapat dipastikan mobilisasi keuangan internal partai --melalui iuran anggota-- tidak cukup membiayai seluruh kegiatan partai. Agar tetap hidup, partai berusaha mendapatkan dana pemerintah melalui perburuan rente (rent-seeking). Caranya, partai-partai bersaing merebut jabatan politik di kabinet maupun parlemen.

Menariknya, buku ini tidak memperkarakan sumbangan negara terhadap partai-partai yang bersumber dari dana publik. Pasalnya, santunan dana publik untuk parpol (subvensi) dianggap lumrah seperti lazim dipraktikkan di negara-negara demokrasi lain. Tapi masalah krusial yang disorot buku ini karena partai secara kolektif mengincar dana-dana nonbujeter. Dari berbagai analisis kasus, diduga kuat penguasaan jabatan politik di pemerintahan maupun parlemen agar partai-partai memperoleh akses terhadap dana-dana nonbujeter baik di pos pemerintah maupun di pos parlemen. Perburuan rente terjadi karena terdapat banyak celah dalam regulasi keuangan partai dan sanksi hukumnya masih lemah. Dampak kartelisasi parpol bagi demokrasi memprihatinkan. Singkat kata, institusi partai jadi lebih dekat ke negara daripada masyarakat!

Disadari kenyataan politik membuat jalinan koalisi kurang ideal. Pertama, kemungkinan partai seideologi tidak (cukup) tersedia dalam suatu sistem kepartaian. Akibatnya, koalisi berbasis ideologi sulit dibentuk. Kedua, boleh jadi di antara partai atau kelompok elite partai yang seideologi punya kepentingan berbeda dalam rangka merebut puncak kekuasaan eksekutif. Dampaknya, partai atau elite partai mengutamakan kepentingan politik dan mengabaikan ideologi sebagai pertimbangan berkoalisi.

Kualitas demokrasi diyakini meningkat bila sistem kepartaian didorong jadi lebih kompetitif. Mengutip Sartori (1976), selain jumlah (dua partai atau multipartai) sistem kepartaian dibedakan dari jarak ideologinya. Maksudnya, sistem kepartaian dianggap kompetitif bila terdapat jarak ideologi di antara partai-partai dalam suatu sistem kepartaian. Idealnya, kompetisi antarparpol ini konsisten di berbagai arena politik (pemilu, pemerintahan dan parlemen). Bila suasana kompetisi konsisten di berbagai arena politik akan terdapat tautan elektoral di antara partai-partai sebelum pemilu dan pasca pemilu. Dengan demikian, kaitan antara ideologi, pola koalisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi jadi lebih bermakna. (*)

*) Yudistira Adnyana , Dosen FISIP Universitas Ngurah Rai di Denpasar

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 06 Desember 2009

Label: , , ,