Kamis, 26 November 2009

Bali Bravo, Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun

Category: Books
Genre: Arts & Photography
Author: Agus Dermawan T

Penerbit: Panitia Bali Bangkit, Jakarta, 2006
Tebal: 320 halaman
Bahasa: Indonesia dan Inggris

Proyek Bali Bangkit yang digerakkan oleh para pencinta seni rupa Bali, seperti Hadi Sunyoto, Subandi Salim, Hauw Ming, dkk, pada ujungnya menelurkan buku Bali Bravo, Leksikon Pelukis Bali Tradisional Bali 200 Tahun.

Buku susunan Agus Dermawan T ini berisi lebih dari 300 biografi pelukis tradisional Bali sejak tahun 1800. Sampul muka buku setebal 320 halaman ini, menampilkan lukisan Ida Bagus Made Togog, seorang seniman tokoh Batuan tengah abad ke-20.

Buku ini dibagi dalam 6 bab, yang menjadikan semuanya bisa dinikmati sistimatik. Dalam bab Prakata dari Penyusun diungkapkan berbagai pasal yang berkait dengan kriteria siapa saja yang patut masuk dalam buku. Kemudian batasan "tradisionalisme", serta arti dari penjudulan buku ini, Bali Bravo. Di situ dituliskan, bahwa kata 'bravo', yang berasal dari kata Italia artinya 'bagus sekali' atau 'hebat'.

Dalam bab Peta dan Tata (hlm 15), penulis membahas perjalanan seni lukis tradisional Bali, yang dimulai dari aneka sarkopagus dan nekara. Yang kemudian berkembang pesat di abad ke-15 dalam pemerintahan Dalem Watu Renggong. Sangat hidup ketika Walter Spies, Rudolf Bonnet datang ke Bali di awal abad ke-19, sampai pascabom Bali 2005.

Foto Lukisan

Bab inti adalah Leksikon Pelukis Tradisional Bali (hlm 27). Dari lebih dari 300 pelukis, Bali Bravo tak hanya menampilkan nama legendaris saja. Pelukis populer dan prospektif juga ditampilkan. Sebagian besar dengan dengan foto seniman dan lukisannya. Sehingga dalam buku yang full colour, ini termaktub 280 foto lukisan, yang meliputi belasan aliran seni lukis tradisional Bali.

Seperti aliran Kamasan, Batuan, Kapal, Keliki, Tanah Lot, Singaraja dan Ubud. Sementara di Ubud diceritakan muncul "anak-anak aliran". Anak aliran ini lahir dari studio-studio pelukis, seperti studio Nyoman Meja, Nyoman Lesug, Ketut Nama, Ketut Kasta dan sebagainya.

Dalam sejarah penerbitan buku tentang lukisan tradisional Bali, inilah buku pertama yang merangkum semua aliran, melalui jendela figur-figur pelukis yang menjadi para pelakunya.

Yang menarik, Agus juga menyusun Skema Peristiwa (hlm 267), yang menyejajarkan peristiwa seni lukis di Bali, Indonesia dan dunia, sejak tahun 1800. Maka terbaca, ketika tahun 1825 di Kamasan, Bali sudah lahir pelukis Modhara Meresadhi, di Jawa masih sibuk perang Diponegoro, sementara di Barat (Inggris) telah lahir pelukis pemandangan hebat, John Constable.

Ketika tahun 1936 para pelukis Bali bersekutu dengan para pelukis Belanda untuk mendirikan organisasi Pita Maha, di Jakarta Sudjojono dan kawan-kawan justru sedang melakukan gerakan anti seni kolonial. Sementara di Barat, pelukis Picasso sedang menciptakan lukisan Guernica, yang kemudian menjadi sangat terkenal.

Lalu, pada kurun tahun 2002 - 2005, ketika di Barat dan Indonesia terjadi boom harga dalam berbagai lelang lukisan, di Bali justru terjadi ledakan bom teroris, yang mengganggu kehidupan kesenilukisan Bali. Bab ini punya potensi untuk menarik minat para pencinta seni rupa yang ingin memperluas pengetahuan umum seni lewat kilasan peristiwa.

Perjuangan

Pada bab Lesksikon Pelukis Bali Tradisional, Agus sengaja mengungkap aspek-aspek human interest. Lalu muncullah di situ tokoh I Nyoman Ngendon (hlm 165). Ia adalah pelukis daerah Batuan yang ikut berjuang sebagai tentara dalam resimen I Ngurah Rai. Nasib buruk menimpa patriot ini.

Pada suatu hari di tahun 1946, ia ditangkap tentara NICA di Desa Ketewel. Konon ia dianggap kurir yang paling berbahaya, dan disebut-sebut sebagai gerilyawan yang menyamar sebagai seniman. Ngendon disiksa. Dan kemudian, pada 2 Juli 1947 ia ditembak oleh polisi NICA di kuburan Dentiyis, Batuan. Banyak saksi bercerita bahwa setelah ditembak, jenazah Ngendon diseret dengan truk di Jalan Raya Sukawati.

Ngendon dituliskan lahir 1903. Tapi ada yang menuliskan 1922. Bahkan menurut Agus, ada yang memperkirakan ia lahir tahun 1913. Sejumlah ketidakpastian tahun kelahiran ini bisa dijumpai dalam buku Bali Bravo. Namun simak, kesamaran data ini bukan kekurangan, namun justru bisa dianggap "kelebihan" dari masyarakat Bali.

Orang Bali yang lahir sebelum tahun 1970 umumnya masih nirakta. Mereka menandai kelahiran anak-anaknya hanya lewat kejadian sehari-hari dan peristiwa alam, seperti isu Perang Dunia atau Gunung Agung meletus. Ada yang kemudian menuliskannya di daun lontar atau tiang rumah. Ketika rumah itu direnovasi, ya hilang catatannya.

Di sini juga muncul entri Ida Bagus Made Nadera, pelukis Ubud ternama yang kawin berkali-kali. Padahal pada masa mudanya ia sangat tidak percaya diri, dan pekerjaannya hanya mengikuti Ida Bagus Meregeg, jadi guru seni, pemungut pajak dan lain-lain.

Ada I Gusti Nyoman Lempad, yang wafat dan diaben secara megah pada 6 Mei 1978. Sampai Paloma Picasso, puteri pelukis terbesar abad ke-20, Pablo Picasso, datang dan takjub.

Eleonora Margaretha, penggemar buku


Sumber: Suara Pembaruan, 17/09/06

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda