Program Hitam-Putih Supersemar
Dua Jenderal 'Menodong' Presiden Soekarno
Agar Tandatangani Supersemar?
Program Hitam-Putih TransTV, pada 10 dan 11 Maret 2004 tengah malam, akan menayangkan laporan khusus tentang peristiwa nasional bersejarah, yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Yaitu, soal keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang telah memberi jalan bagi Letjen Soeharto untuk secara bertahap mengikis dan menyisihkan kekuasaan Presiden Soekarno, dan akhirnya menaikkan Soeharto ke kursi Presiden. Ini menjadi awal era Orde Baru, sebelum akhirnya digusur oleh gerakan reformasi Mei
1998. Kontroversi Supersemar antara lain tentang apakah Bung Karno dipaksa untuk menandatangani dokumen, yang praktis berarti alih kekuasaan tersebut.
Soeharto dengan piawai telah membubarkan PKI dan memecat, menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh pendukung Bung Karno, dengan Supersemar itu. Dalam laporan khusus ini, TransTV mewawancarai Letda Soekardjo Wilardjito, anggota Security DKP (Dinas Kawal Pribadi) Presiden Soekarno, yang pada pukul 01.00 dinihari, 11 Maret 1966, melihat pertemuan empat jenderal dengan Presiden di Istana Bogor. Empat jenderal itu adalah: Basuki Rachmat, Maraden Panggabean, M. Yusuf dan Amirmachmud. Mereka meminta Bung Karno menandatangani dokumen dalam map merah.
Soekarno sempat menyatakan keheranan, karena surat itu berkop surat militer, bukan kop surat kepresidenan. Tetapi, Basuki Rachmat mengatakan, “Untuk mengubah, sudah tak ada waktu”.
Lalu, “Panggabean cabut pistol. Belum sempat ditodongkan, Pak Basuki Rachmat juga ikut cabut pistol. Saya langsung cabut pistol juga. Saya todongkan pada Jenderal. Tapi rupanya Presiden tidak menghendaki pertumpahan darah dan melarang dengan tangan kirinya,” kata Wilardjito.
Panggabean adalah mantan Ketua DPA Jenderal (Purn) Maraden Panggabean, yang saat itu menjabat Ketua Tim Umum bentukan Soeharto. Nama Panggabean selama ini memang tak tercantum dalam sejarah Supersemar. Selama ini, sejarah 'resmi' Supersemar hanya menyebutkan tiga Jenderal –- Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amirmachmud -- yang menghadap Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.
Penodongan Soekarno Versi Wilardjito
Semuanya berawal, saat Wilardjito mendapat giliran dinas malam di Istana Bogor pada 10 Maret 1966. Hari itu, Bung Karno tidur sekitar jam 24:00. Satu jam kemudian, datanglah empat jenderal tersebut. Wilardjito mengaku, dialah yang mengetuk pintu kamar Presiden Soekarno untuk memberitahu kedatangan mereka. Presiden kemudian menerima empat enderal tersebut di ruang kerjanya.
“Presiden masih memakai piyama. Saya 3 meter di belakang Presiden. Cuma yang saya lihat itu kok kertasnya bukan kertas kepresidenan gitu lho. Itu kok saya liat kopnya di kiri atas. Kok seperti kop MABAD (Markas Besar TNI-AD) gitu,” kata Wilardjito. Namun kesaksian Soekardjo Wilardjito dibantah Pusjarah TNI. Menurut Wakil Kepala Pusat Sejarah TNI Kolonel R. Ridhani, Panggabean tak pernah datang ke Istana Bogor.
“Apalagi soal penodongan. Itu yang antara lain dibantah Pak Jusuf. Nodong pake apa, katanya. Pistol saja tidak bawa. Jangankan pistol, senjata kecil apapun juga kita tidak bawa (menirukan Jenderal (Purn.) M. Jusuf, red.).
Semua jenderal-jenderal itu adalah kesayangan Bung Karno. Tak mungkin berlaku kurang ajar terhadap Bung Karno,” kata Ridhani. Tapi sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam punya pedapat lain soal cerita Wilardjito.
“Mungkin saja, kalau tanggalnya itu bukan tanggal 11 Maret. Tanggal 10 Maret, mungkin saja ada beberapa orang yang datang ke Istana Bogor. Karena kalau tanggal 11, ada beberapa saksi lain yang mengatakan hanya tiga orang jenderal. Tapi kalau sebelumnya sudah ada upaya yang sama, itu menurut saya sangat masuk akal,” kata Asvi.
Saksikan di TransTV, 10 dan 11 Maret 2004
Kesaksian Soekardjo Wilardjito dan saksi lain, bantahan Kolonel R. Ridhani, pendapat Asvi Warman Adam, serta penelusuran naskah asli Supersemar, dapat Anda saksiksan lengkap dalam program Hitam Putih – “Supersemar: Sukarela atau Kudeta?” yang ditayangkan TransTV pada Selasa, 10 Maret pukul 23.30-24.00 WIB, dan Rabu, 11 Maret 2004 jam 24:00 WIB (sesudah acara dialog Kupas Tuntas).
Hitam Putih adalah program dokumenter Trans TV, yang mengulas berbagai peristiwa bersejarah, yang dianggap punya dampak penting dalam sejarah nasional. Sebelumnya, Hitam Putih pernah mengangkat tema Peristiwa G30S 1965, yang memakan banyak korban. Kali ini, tema Supersemar dipilih karena banyak hal kontroversial tentang Supersemar tersebut, dan dampak keluarnya Supersemar, yang membalikkan kondisi politik Indonesia, dan menjadi awal rezim Orde Baru.
Hitam Putih – 'Supersemar: Sukarela atau Kudeta?' akan dipandu langsung oleh Riza Primadi, yang sehari-hari menjabat Direktur Pemberitaan TransTV.
Executive Producer: Iwan Sudirwan, Sulaeman Sakib.
Producer: Satrio Arismunandar.
Producer Assistant/Cameraman: Budi Afriyan.
Reporter: Riza Primadi.
Researcher: Ami Melanrosa. (ponco/rio)