Minggu, 06 Desember 2009

Nadira dan Anak Emas Sastra Kita

• Judul: 9 dari Nadira
• Penulis: Leila S Chudori
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
• Cetakan: I, Oktober 2009
• Halaman: xii + 270 halaman
• ISBN: 978-979-91-0209-6

Lima tahun terakhir, sastra Indonesia disibukkan oleh dua hal. Pertama, isu seputar tema seksualitas terkait sejumlah penulis perempuan. Kedua, kesibukan mengeksplorasi gaya bercerita dan mengolah bahasa.

Oleh Agus Noor

Kesibukan pertama membuat banyak tema lain seakan tenggelam dalam hiruk pikuk yang sangat seksi dan berbias jender. Sementara yang kedua, di samping mampu menghasilkan sensibilitas baru bahasa dalam karya sastra—dalam hal ini sering kali prosa—terlalu sibuk dengan gaya. Berkutat dengan pengagungan metafora hingga melupakan cerita yang ingin disampaikan.

Dalam konteks itulah kemunculan 9 dari Nadira menjadi penting. Sembilan kisah di sini menegaskan betapa pada dasarnya prosa yang baik tidak melupakan unsur pembentuk cerita, semisal karakter, kompleksitas psikologis tokoh, intensitas plot, dan cara pandang yang segar. Untuk mencapai itu semua, butuh keterampilan bercerita. Termasuk memprasyaratkan penulis bisa lebih dulu menjadi pencerita yang baik, seorang ”tukang cerita”, meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma.

Dengan begitu, kisah menjadi lancar dan mampu melibatkan pembaca secara emosional. Terutama saat memasuki labirin kegelisahan dalam plot yang dibangun, bahkan menemukan kejutan atau pencerahan setelah menyelesaikannya. Semua tampak kuat dalam sembilan kisah buku ini, bukti Leila S Chudori memang pencerita piawai.

Persoalan psikologis

9 dari Nadira bisa disebut sebagai comeback-nya Leila dalam sastra Indonesia. Tak hanya pembaca yang beruntung, tetapi juga sastra Indonesia karena tak kehilangan bakat terbaik yang pernah ada. Kita tahu, banyak bakat besar dalam sastra kemudian menghilang begitu saja hanya karena tenggelam dalam rutinitas di luar penciptaan sastra.

Sembilan kisah di sini berpusat pada Nadira. Dia muncul sebagai alter ego narator yang menjadi pusaran relasi antartokoh, terutama dengan Nina, kakaknya. Hubungan mereka seperti ”sepasang rel kereta api yang lurus yang tak pernah berminat untuk bertemu di tengah” (hal 44). Sebuah penggambaran yang membersitkan persoalan psikologis keluarga Bramantyo Suwandi dan Kemala, istrinya. Begitu pula hubungan dengan Gilang Sukma, koreografer bertubuh eksotis penggoda Nadira yang kemudian menikah dengan Nina. Atau relasi dengan Utara Bayu, atasan di majalah Tera, yang diam-diam mencintai Nadira, tetapi tak punya cukup keberanian berterus terang.

Sejak kisah pertama, ”Mencari Seikat Seruni”, kita langsung merasakan adanya puncak gunung es dan sesuatu yang tidak beres di dasarnya, yaitu ketika ibu Nadira ditemukan mati bunuh diri. ”Kami menemukan sebuah sosok yang telentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati.” (hal 3). Penggambaran lugas dan tangkas, tetapi membuat kita langsung disergap cemas. Dari kematian itulah kita langsung memperoleh gambaran karakter Nina yang rentan dan rapuh. Arya yang tenang dan terus membaca Yassin. Nadira yang mengurusi hal praktis, seperti makan dan penggali kubur serta mencari bunga seruni yang mustahil ditemukan di Jakarta. Yang terakhir ini merupakan bagian paling penting bagi Nadira.

Alter ego

Leila, dalam pengantarnya, menyebut buku ini sebagai ”sembilan cerita pendek”. Ini berarti tiap kisah berdiri sendiri sebagai cerita. Namun, seperti dinyatakan Budi Darma, sesungguhnya ada benang merah dalam tematik dan alur. Tiap kisah saling terhubung sehingga mengesankannya sebagai novel yang ditulis secara fragmentasi. Di sini, alur besar itu justru memberi ruang imajinasi bagi pembaca.

Saling keterkaitan itu membuat kita paham siapa Alina Putranto, salah satu perempuan yang dikencani Niko Yuliar, pria yang akan menikah dengan Nadira. Perempuan yang membuat Utara Bayu begitu risau di bagian akhir kisah ”Ciuman Terpanjang” (hal 164). Kita bisa merasakan ketegangan ketika menyebut nama Alina Putranto karena pada kisah lain didapat gambaran siapa Tito Putranto. Ia pengusaha kaya snobis dan punya cara begitu aduhai untuk memberi pelajaran ”musuh-musuhnya”, yaitu dengan menggantung terbalik di lantai 17 kantornya, seperti kelelawar yang diikat kakinya. Namun, dari sosok Tito pula kita bisa makin tahu bagaimana sosok ibu dihormati dalam jiwa Nadira (hal 137).

Apabila ingin aktif mengembangkan imajinasi, kita bagai tengah menyusun teka-teki. Semisal untuk mengetahui bagaimana rasa hormat Nadira kepada ibunya dan apa makna seruni bagi sang ibu. Secara mengejutkan kita bisa menemukannya pada kisah ”Tasbih”. Bagian ini menceritakan saat Nadira yang bekerja sebagai reporter Tera mewawancarai Bapak X, psikopat cerdas.

Penggambaran adegan bergaya thriller mengingatkan pada adegan film Silence of the Lambs seperti memperlihatkan sisi lain ketakutan Nadira. Aroma melati yang semerbak tak cocok buat kepribadian ibumu Nadira, sedap malam terlalu mistis, seruni terasa cocok dengan seseorang yang lelah dengan dunia, jelas sang psikopat.

Melalui adegan itu, kita nyaris bisa mendengar dengus napas psikopat yang seakan mencapai ekstase yang diinginkan, mendekati wajah Nadira. Dan, tiba-tiba saja kita tersentak. Hanya dalam dua detik wajah Bapak X dihajar tonjokan yang begitu keras (hal 120).

Bagian paling dramatis dan puitis adalah ”Kirana”. Dramatis karena kisah ini memakai paraleisme dunia panggung, yakni adegan koreografi Gilang Sukma yang menafsirkan kisah Panji Semirang. Puitis bukan karena penggunaan puisi pada beberapa narasi, tetapi karena di bagian inilah momen kejiwaan Nadira diungkapkan berlapis; antara hasrat, pemberontakan, dan pencarian identitas. Jiwa Nadira, pada satu sisi, menjadi seperti Candra Kirana yang tengah menyamar dalam tubuh Panji Semirang. Bagian ini sesungguhnya merupakan tahap ketika perkawinan Nadira dan Niko rontok. Penggunaan narasi Panji Semirang menjadi seperti ”panggung” bagi kegelisahan Nadira. Tak hanya psikologis, tetapi juga mendekati tahap pencarian orientasi seksualitas.

Dua dunia, yaitu Candra Kirana dan keseharian Nadira, yang berusaha tegar menghadapi detik-detik terakhir perkawinannya, seperti dua lapis dari diri Nadira. Sekaligus juga menjadi lapisan realitas dan fantasi yang tumpang tindih, saling menyelusup, dan mendedahkan pertanyaan tentang diri dan identitas.

Memakai Nadira sebagai alter ego narator bukan tanpa risiko. Intensitas penceritaan menjadi kuat ketika narator melihat semua persoalan dari dunia Nadira. Terasa melonggar ketika kisah diturunkan dari luar perspektif Nadira. Misal pada ”Pisau”, ”Utara Bayu”, dan ”At Pedder Bay”. Kisah di mana Arya akhirnya menemukan perempuan yang dicintainya.

Nadira memang pusat kisah. Ia seperti anak emas dalam keseluruhan kisah ini. Dan, saya menjadi begitu bahagia karena Nadira membuktikan anak emas dalam sastra kita telah kembali.

Agus Noor, Prosais

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Desember 2009

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda