Menafsir Kereta Kencana Rendra
"Wahai, wahai! Dengarlah engkau dua orang tua… Di tengah malam di hari ini, akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, 10 kuda, satu warna...”
Gema suara itu memenuhi kamar gelap itu. Seorang nenek tua muncul dengan membawa lentera, seraya memanggil-manggil suaminya. Sang suami, yang berambut putih dan tampak letih, sedang berputus asa. Dia duduk tercenung di atas sebuah kursi tua.
Oleh Ilham Khoiri
Suasana antara nyata dan tak nyata ini membuka pertunjukan ”Kereta Kencana” oleh kelompok Teater PIN di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jumat (6/11) malam, dan diulang Sabtu (7/11) malam. Pentas mengangkat naskah WS Rendra, hasil adaptasi dari lakon ”Les Chaises” karya pengarang berdarah Romania-Perancis, Eugene Ionesco. Penyutradaraan ditangani Putu Wijaya, sedangkan tokoh nenek dan kakek, masing-masing dibawakan Niniek L Karim dan Ikranagara.
Kembali pada kisah tadi, kakek-nenek itu berusaha menyambut kereta kencana. Namun, semakin mendekati tengah malam, kedua orang berusia dua abad itu makin gusar, terutama si kakek.
Lelaki itu merasa tak berguna, hidupnya hampa. Istrinya berusaha membujuk dengan membuat banyak permainan. Kakek mencoba main jadi badut, mendongeng, atau berpidato. Mereka lalu mengingat segala perbuatan menyenangkan semasa jaya, berkhayal menimang anak atau menerima banyak tamu.
Meski terhibur sejenak, toh kakek itu masih dihantui kekosongan jiwa. Suasana tetap murung sampai akhirnya tiba seorang kaisar dari kerajaan yang terang dan benar. Setelah melewati pergulatan batin dan pikiran, keduanya menyambut kereta kencana yang datang menjemput.
”Kami siap dan menanti,” kata pasangan tua itu dengan perasaan berdebar.
Keaktoran
Apa yang menarik dari lakon ”Kereta Kencana”? Pertunjukan ini menjadi panggung eksplorasi keaktoran dua pemain teater kawakan, Niniek dan Ikranagara. Selama pentas satu jam lebih, aktor perempuan berusia 60 tahun dan lelaki 66 tahun itu berjibaku menghidupkan naskah Rendra.
Mereka tampil hanya berdua, tanpa pemain lain. Putu Wijaya sempat nyelonong masuk ke tengah adegan, tetapi hanya numpang lewat sebentar saja. Panggung minimalis, hanya dilatari kain putih panjang menjuntai dari atas ke bawah. Ada sebuah kursi di tengah ruang.
Tak ada musik pengiring, kecuali beberapa kali suara angin menderu dan ketukan pintu. Kelangsungan pentas di panggung malam itu sepenuhnya bergantung pada kelihaian dua aktor tersebut. Menyadari situasi ini, keduanya berusaha bermain dengan modal kekayaan pengalaman masing-masing.
Niniek tampil lebih realis, mirip seorang ibu membimbing anak laki-lakinya yang manja. Setiap kali anak itu murung, sedih, atau bertingkah, si ibu segera menanganinya dengan hiburan dan permainan. Peran ini dilakoni Niniek dengan rileks dan alamiah.
Ikranagara lebih atraktif, dengan gerak tubuh dan vokal dinamis. Kegalauan kakek ditampilkan mirip sosok bocah yang bandel, manja, banyak tingkah, dan terus berubah-ubah pikiran. Hanya saja, kerewelannya terkadang terasa filosofis.
Perbedaan latar belakang dua aktor itu tak menghambat kelancaran lakon. Niniek dari Teater Populer cenderung realis. Ikra dari Teater Kecil dan Teater Saja banyak mengandalkan stilasi dengan gerak dan suara.
Keduanya saling mendukung, terutama ketika membuat adegan dengan banyak tokoh imajiner. Kadang mereka mengkhayalkan menimang anak, menyambut tamu, atau bermain layang-layang.
”Dengan dijembatani sutradara Putu Wijaya, kami tampil saling merespons di panggung. Jadi, gayanya lebih terbuka,” kata Niniek.
”Saya senang karena bisa menggunakan semua kekayaan akting di panggung,” kata Ikranagara.
Pentas makin cair dengan memasukkan perbincangan jenaka atau menyerempet isu aktual. Inilah tafsir ”Kereta Kencana” yang realis, tetapi santai.
Putu Wijaya mengungkapkan, pertunjukan sekarang ini sedikit menyempal dari pentas Rendra yang lebih puitis dan romantis. Bersama Widiati Saebani, Rendra pernah mementaskan ”Kereta Kencana” di Yogyakarta tahun 1962. Beberapa tahun lalu, Rendra memainkan lakon serupa bersama Ken Zuraida di Jakarta.
”Pentas kali ini lebih menonjolkan kemampuan akting dua pemain yang berbeda latar belakang teaternya. Kami ingin menunjukkan, akting tetap hidup dan punya lahan yang subur dalam khazanah teater modern Indonesia,” kata Putu.
Mengenang Rendra
Pentas ini merupakan rangkaian acara mengenang WS Rendra, budayawan, penyair, dan dramawan Indonesia yang wafat 6 Agustus lalu. Selain pentas teater, digelar pula pembacaan puisi Rendra dan ceramah tentang puisi Rendra oleh Sapardi Djoko Damono, Sabtu (7/11). Meski terinspirasi dari ”Les Chaises” karya Eugene Ionesco, ”Kereta Kencana” tetap menunjukkan kekuatan Rendra sebagai dramawan dan penulis naskah.
Menurut Ikranagara, ”Kereta Kencana” tidak bisa dibilang semata terjemahan dari ”Les Chaises”, melainkan merupakan hasil dialog Rendra dengan teks karya Ionesco. Memang, banyak kalimat yang dikutip, tetapi Rendra memberikan konteks berbeda.
”Les Chaises” cenderung absurd dan meneguhkan kenyataan hidup yang sia-sia, tak ada artinya. Kedua tokohnya terjungkal ke laut dan mati (atau bunuh diri?). Ini kisah yang menyedihkan.
Berbeda dengan itu, ”Kereta Kencana” lebih eksistensialis dan spiritualis. Meski mulanya mengeluhkan kehampaan jiwa, tetapi kakek-nenek itu kemudian menemukan makna hidup. Keduanya menyambut kereta penuh ”cahaya terang dan kebenaran” yang mengantarkan hidup di dunia menuju kehidupan lain.
”Kereta Kencana merupakan karya baru Rendra, bukan terjemahan dari ’Les Chaises’. Sekali lagi, inilah bukti kekuatan Rendra,” kata Ikranagara.
Sumber: Kompas, Minggu, 8 November 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda